Pendidikan Demokrasi versus Pendidikan yang membelenggu

Pendidikan Demokrasi versus Pendidikan yang membelenggu

Terdapat tiga pandangan yang berkaitan dengan istilah Pendidikan Demokrasi :

Pertama : Pendidikan demokrasi adalah pendidikan tanpa diskriminasi, pendidikan untuk semua orang (education for all). Idealnya pendidikan, semua orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan tidak memandang status sosial, bentuk fisik manusia, atau tempat tinggal ataupun latar belakang budaya. Siapapun tanpa terkecuali berhak mendapatkan hak asasinya untuk membebaskan dirinya dari keterbelakangan dan kemiskinan melalui pendidikan.

Sayangnya idealisme ini hanya sebatas tatanan normatif an sich, pelaksanaannya penyelenggaran pendidikan terutama di Indonesia masih jauh dari cita-cita pendidikan tanpa diskriminasi, munculnya lembaga pendidikan formal yang berlabel RSBI pda awal ide berdirinya adalah untuk mengakomodasi siswa-siswa yang memiliki prestasi lebih baik dibidang akademik maupun ketrampilan, akan tetapi dalam perjalanannya sekolah-sekolah yang berlabel RSBI ini menjadi sekolah eksklusif diperuntukkan bagi orang-orang berduit, sementara bagi yang memiliki keterbatasan financial sepertinya keinginan untuk sekolah di RSBI harus disimpan dalam angan-angan.

Masih dalam lingkup pendidikan tanpa diskriminasi, kita semua paham jika sekolah-sekolah umum sepertinya tertutup bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, sekalipun secara akademik, kemampuannya tidak kalah dibanding siswa lain yang tidak memiliki keterbatasan fisik , tetapi sekolah-sekolah umum baik dari desain sarana gedung, lingkungan dan prsarana belajar tidak memberikan ruang bagi orang yang memilki keterbatasan fisik semisal, tuna netra untuk belajar di sekolah-sekolah umum, tempat mereka hanya satu yakni belajar disekolah khusus tuna netra.

Sebenarnya kembali kepada penyelenggara pendidikan itu sendiri, jika ada kemauan sekolah umum pun dapat menerima sekalipun peserta didik memiliki keterbatasan fisik, dengan memanfaatkan pengembangan teknologi pendidikan tanpa harus merubah yang sudah ada, siapapun ia dapat bersekolah disekolah-sekolah umum tanpa harus dibedakan antara siswa yang cacat dan tidak cacat.

Kemudian semua orang tahu jika pendidikan di Indonesia terpusat di pulau jawa, semua orang juga tahu jika pendidikan selalu terpusat dikota, lantas bagaimana dengan pendidikan yang dipinggiran, dipelosok kampung atau pendidikan yang ada di Kalimantan, Sulaiwesi atau Papua, bukankah daerah-daerah itu juga Indonesia, tetapi mengapa sampai tulisan ini dibuat belum juga ada pemerataan kwalitas pendidikan, padahal kebijakan pemerintah pusat dengan pemberlakuan Ujian Nasional (UN) selalu menggeneralkan pendidikan (standardisasi pendidikan). Adakah yang salah dengan penyelenggaran pendidikan diIndonesia.

Sepertinya kurang bijak kalau harus mencari-cari siapa yang salah, langkah positif tentunya   kondisi ini menjadi bahan pemikiran para teknolog pendidikan untuk bagaimana membuka akses pendidikan untuk semua orang, tanpa harus terkendala kondisi geofrafis siapapun dan diamanapunsetiap orang dapat mengakses pelayanan pendidikan. Kehadiran SMP terbuka, Kelompok-kelompok belajar paket A, B atau C  demikian pula kehadiran Universitas terbuka merupakan salah satu solusi untuk membuka akses pendidikan untuk semua orang siapapun tanpa batasan usia, dimanapun tanpa dibatasi ruang dapat mendapatkan pelayanan pendidikan. Dari sisi teknologi perangkas keras. Kehadiran jardiknas, TV Edukasi, dapat membuka akses informasi untuk semua orang tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Kedua : Pendidikan demokrasi, adalah pendidikan dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa. Konsep ini sepertinya belum banyak dipahami oleh para pendidik, paradigma lama guru adalah perpustakaan bergerak, guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan bagi siswa masih menjadi filosopi manakala guru berada didepan kelas, maka tidak heran sampai saat ini proses pembelajaran berlangsung sangat monoton, metode ceramah selalu menjadi andalan dalam guru mengajar didepan kelas, interaksi siswa dengan guru hanya berlangsung satu arah, tidak ada dialog, tidak ada tanya jawab, tidak ada problem solving, suasana kelas jadi hening yang terdengar hanya suara guru tugas guru hanya mentransper pengetahuan kepada siswa dan siswa diminta belajar agar ia dapat menjawab soal-soal yang diberikan guru, internalisasi nilai-nilai (pendidikan karakter) dianggap tidak begitu penting yang terpenting siswa dapat menjawab soal-soal ulangan.

Kemajuan teknologi, yang sebagian telah dikembangkan oleh para teknolog pendidikan kedalam dunia pendidikan internet go to school, atau tv edukasi, atau buku pelajaran elektronik, seharusnya dapat membuka cakrawala guru untuk merubah paradima lama, bahwa bukan guru yang seharusnya paling dominan aktivitasnya, tetapi adalah siswa, karena siswalah sebenarnya yang belajar bukan guru, peran guru hanyalah sebagai fasilitator agar anak dapat belajar yakni belajar mengembangkan potensi dirinya, guru harus dapat menjadi mitra bagi sianak sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh sesuai dengan bakat dan kemampuannya, bukankah anak dilahirkan tidak ada yang bodoh apalagi nakal, pada dasarnya semua anak adalah pintar dan semua anak adalah berprilaku baik, potensi inilah yang seharusnya menjadi insipirasi para guru didalam mendidik siswanya. Jika memang ini sudah menjadi filosopi para guru, maka benarlah jika pendidikan demokrasi adalah dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa.

Ketiga : Pendidikan demokrasi adalah sistem pembelajaran yang direncanakan secara sistematis, agar didalamnya terjadi internalisasi nilai-nilai demokrasi                       ( U.Winataputra : 2000). Banyak guru beranggapan jika penanaman atau pembumian nilai-nilai (pendidikan karakter) menjadi tanggungjawab sepenuhnya guru-guru yang mengasuh mata pelajaran normatif, seperti guru agama, Pkn ataupun sejarah, sedang mata pelajaran lain tidak memiliki kewajiban untuk melakukan internalisasi nilai-nilai terhadap siswanya. Anggapan seperti ini sebenarnya sangat keliru, atau memang guru-guru yang mengasuh mata pelajaran yang bukan normatif tidak tahu harus bagaimana melakukan internalisasi nilai-nilai kepada siswanya, melalui mata pelajaran yang diampunya ???

sebenarnya jika saja guru-guru mau sedikit saja memanfaatkan teknologi pendidikan, berupa media pembelajaran, apakah media video, power point, internet edukasi dan lain-lain,  guru dapat menyampaikan kepada siswa nilai-nilai apa yang sebenarnya ingin ditanamkan kepada siswa, sebagai contoh seorang guru olah raga mengajarkan tehnik permainan sepak bola, bukankah guru olah raga ini dapat melakukan internalisasi nilai kerjasama dan tanggungjawab, guru dapat menjelaskan arti kerjasama dan tanggungjawab dalam permainan sepak bola, jadi tidak melulu mengajarkan bagaimana cara bermain sepak bola

Pada akhirnya kembali kepada apa sebenarnya yang menjadi filosopi guru dalam mendidik siswanya, adakah ia dapat memahami pendidikan demokrasi atau sebaliknya pendidikan yang bukan demokrasi ????

2. Pendidikan yang membebaskan dan Kebijakan yang tidak kondusif

Idealnya kehadiran teknologi pendidikan membuka kesempatan semua orang dapat mengakses pendidikan yang pada gilirannya masyarakat terbebas dari buta huruf, terbebas dari keterbelakangan dan terbebas dari kemiskinan, akan tetapi apalah artinya sebuah idealisme, kita hidup dalam sebuah sistem dan didalam sistem terdiri banyak komponen yang terlibat dan komponen-komponen itu harus bersinergi, jika para teknolog pendidkan memiliki semangat idealisme tapi tidak didukung oleh kebijakan pemerintah, maka idealisme tetaplah dalam tatanan idealisme, itu artinya pendidikan belum dapat dinikmati oleh semua orang yang pada gilirannya pendidikan belum dapat membebaskan masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan.

Sebenarnya oleh pemerintah pusat kebijakan pendidikan telah dibangun melalui sistem bottom up. Anggaran pendidikan 20% adalah perjuangan rekan-rekan PGRI, Akan tetapi sayangnya manakala kebijakan itu sampai kedaerah berlakulah hukum otonomi daerah, bahwa daerahlah yang menentukan apakah aturan itu mau dilaksanakan atau tidak, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan, menjadi bukti begitu banyak daerah-daerah yang tidak peduli dengan peraturan pemerintah itu, padahal lewat DAU pemerintah pusat telah mengucurkan anggaran yang tidak sedikit, tapi sayangnya banyak pemda yang tidak mengalokasikan anggaran itu untuk pendidikan, kemudian kebijakan Dana BOS atau bantuan dalam bentuk Block Grand sering kali disalahgunakan oleh pemerintah daerah, belum lagi dana sertifikasi guru yang pendistribusiannya carut marut tidak sesuai dengan keputusan mentri keuangan jika dana sertifikasi guru diberikan setiap tri wulan.

Kebijakan-kebijakan yang kurang kondusif ini, sebenarnya buah dari otonomi daerah yang kebablasan, begitu banyak bidang-bidang keahlian yang tidak ditangani oleh mereka yang memang bukan ahlinya, kedekatan dengan penguasa menjadi penentu seorang mendapat jabatan atau tidak, bukan rahasia umum jika jabatan kepala sekolah layaknya jabatan eselon  ikut diperjual belikan. Jabatan kepala sekolah bukan lagi sebagai tugas tambahan guru, tetapi merupakan jabatan eselon, maka hampir 99% dipastikan jika seorang guru dapat tugas tambahan kepala sekolah praktis ia tidak lagi mau mengajar, kondisi ini melanda disemua tingkatan pendidikan. Dan kondisi ini tentunya sesuatu yang tidak kondusif bagi iklim pendidikan.

Memang berbicara kebijakan tidak semua kebijakan pusat adalah bottom up, ada pula kebijakan pusat yang top down, seperti pemberlakuan UN sebagai penentu kelulusan siswa, akan tetapi dari kacamata sistem ketatanegaraan, sah-sah saja jika ada kebijakan yang dibuat berupa top down, karena pemerintah adalah pemegang otorita didalam negara. Itu sebabnya kebijakan UN tetap saja dianggap pro dan kontra

3. Pendidikan Alternatif dan Pendidikan sepanjang hayat

“ Pekerjaan belum selesai dan perjuangan masih panjang “, demikianlah kata-kata yang sering kita dengar dari seorang motivator, yang intinya jangan pernah kita berputus asa. Sekalipun kebijakan pemerintah kurang kondusif atau betapa susahnya mengubah kebiasaan (paradigma) guru dalam praktek pembelajaran yang terjadi satu arah. Parateknolog pendidikan tidakkan pernah berhenti melahirkan inovasi-inovasi, agar masyarakat, anak didik, peserta belajar mendapatkan hak asasinya untuk mengakses pendidikan. Karena memang pendidikan adalah long life education.

Salah satu karya yang dibanggakan dari para teknolog pendidikan  yang barang kali perlu dikemukakan disini dalam rangka membuka akses pendidikan untuk semua orang , dimanapun dan kapanpun atau pendidikan tanpa diskriminasi adalah munculnya pendidikan alternatif. Mengutif pendapat  Jery Mintz (1994:xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:

  1. sekolah public pilihan (public choice);
  2. sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
  3. sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
  4. pendidikan di rumah (home-based schooling).

Sekolah publik pilihan merupakan lembaga pendidikan yang berbeda dengan sekolah konvensional atau reguler, ketentuan-ketentuan khusus berlaku untuk sekolah ini, seperti, SMP atau SMA terbuka, Universitas terbuka, sekolah magnet  sekolah yang menawarkan program-program unggulan dibidang olah raga dan seni, atau sekolah bibit yakni sekolah yang melahirkan bibit unggul.

Kemudian sekolah untuk siswa bermasalah, bermasalah disini maksudnya adalah siswa korban kekerasan keluarga, anak jalanan, suku terasing atau siswa tidak naik kelas karena lambat belajar, siswa putus sekolah karena berbagai sebab. Selanjutnya lembaga pendidikan swasta atau independent yang didirikan masyarakat seperti PAUD, kelompok bermain atau penitipan anak. Dan terakhir adalah home based sshooling atau pendidikan di rumah. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi disatu sisi menimbulkan kekhawatiran bagi banyak kalangan orang tua akan perkembangan anaknya, maka tidak jarang banyak orang tua yang menyelenggarakan home schooling ini, dengan tujuan agar anaknya tidak terkontaminasi oleh pengaruh prilaku buruk dari luar, para orang tua beranggapan lingkungan keluarga adalah tempat yang paling aman dalam membina prilaku anak terutam anak yang dalam tahap prilaku meniru atau usia emas ( 0 – 5 ) tahun

Pada akhirnya sebagai seorang guru yang sedang belajar di teknologi pendidikan, paling tidak nantinya juga akan dapat melahirkan karya-karya yang dibanggakan demi merubah stigma pendidikan, jika pendidikan sebenarnya adalah hak asasi semua orang, dan setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, Dimanapun, kapanpun dan siapapun.

Tinggalkan Komentar